Senin, 23 Mei 2016

TERJEMAHAN TAFSIR SYA'RAWI AYAT 6


Terjemahan tafsir asy-Sya’rawi ayat-6 surah al-Baqarah.
Sesudah Allah SWT. membicarakan tentang orang-orang mukmin, sipat-sipat mereka, balasan mereka di akhirat dan apa yang mereka nantikan berupa kebaikan yang besar. Allah tabaraka wata’la hendak menjelaskan kepada kita gambaran sebaliknya yakni orang-orang kafir. Dia menjelaskan kepada kita bahwasanya iman ialah sebagai kontrol untuk manusia dan penjelas bagi mereka di dunia dan di akhirat. Maka sebuah keniscayaan ada unsur kejahatan yang memerangi iman. Jika tidak ada kejahatan, maka akan ada kemudaratan bagi iman. Sesungguhnya orang mukmin menjaga dirinya dan lingkungan sekitarnya dari kejahatan yang ditimbulkan oleh kekafiran. Orang-orang kafir terbagi dua:
Pertama,Ingkar kepada Allah, mendengar kalam Ilahi kemudian menerimanya dengan akal  sehat lalu beriman
Kedua, Orang-orang yang tetap dalam kekafiran,permusuhan, kezaliman, memakan hak orang lain dan sebagainya.
Kelompok yang kedua ini mengetahui bahwasanya iman akan menghilangkan wibawa duniawi, usaha-usaha yang direalisasikan dengan cara  kezaliman dan perpecahan. Oleh karena itu kelompok kedua ini tidak beriman dan mengambil manfaat dari kekafiran. Tetapi bagaimana dengan oraang kafir  yang menerima agama Allah dengan baik? Mereka itulah orang-orang yang dibuka hatinya untuk beriman.
Kata kafir berarti menutup. Ka-fa-ra yakni sama dengan sa-ta-ra. Kafir kepada Allah ialah menutup (tidak mengakui) keberadaan Allah. Dan orang dikatakan menutup sesuatu jika yang ditutup itu sesuatu yang ada, karena kata menutup itu menunjukkan atas keberadaan sesuatu. Hal yang fundamental pada hakikatnya adalah percaya kepada Allah. Orang-orang kafir mencoba untuk menutupi akan adanya Allah. Seolah-olah meyakini tidak adanya Allah ialah iman yang sebenarnya, kemudian sifat lalai manusia menghalnagi mereka untuk meyakini adanya Allah agar mengekalkan kekuasaan mereka,mengeksploitasi, meninggikan derajat mereka atas orang lain. Kata kafir menurut asal usulnya kata iman lebih dulu dari pada kata kafir. Lalu Bagaimana?

Karena sesungguhnya penciptaan yang pertama adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dengan ‘ kedua tangan’-Nya, ditiupkan ruh padanya dan Dia (Allah) memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya serta Dia mengajarinya semua nama-nama.
Sujudnya Malaikat dan mengajari nama-nama adalah satu hal yang sudah disaksikan.  Dan pada saat itu kekafiran belum ada. Dan menjadi kewajiban bagi Nabi Adam setelah diturunkan ke bumi dan berdomisidi di dalamnya untuk mengajari anak-anaknya cara menyembah agama Allah karena nabi Adam turun membawa tata cara tersebut (perintah dan larangan) demikian juga anak-anak Adam berkewajiban mengajari anak-anak mereka tata cara tersebut Demikian seterusnya. Tetapi dengan berlalunya waktu datanglah kelalaian bahwasanya iman itu akan mengekang gerak manusia di alam ini. Maka  orang-orang  yang ingin mengikuti hawa nafsunya mulai menempuh jalan kekafiran. Orang berakal, ketika mendengar kata kufur,  akan selalu mengingat bahwa ma’na kalimat kufur adalah menutupi sesuatu yang seharusya ada.  Maka bagaimana mungkin seseorang itu kafir dan menyekutukan yang lainnya untuk menutupi sesuatu yang benar-benar ada. dengan itulah engkau akan mendapati Allah yang Hak berfirman:
 {كَيْفَ تَكْفُرُونَ بالله وَكُنْتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ هُوَ الذي خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأرض جَمِيعاً ثُمَّ استوى إِلَى السمآء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}[البقرة: 29]
Artinya: bagaimna kamu ingakar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu dia menghidupkan kamu, kemudian dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
 sepertu itulah pertanyaan  itu datang. Lalu orang-orang  kafir tidak sanggup untuk menjawabnya. Karena Allah lah yang menciptakan dan membuatnya ada. Sementara itu tidak ada seorang pun dari kita yang mampu mengklaim bahwa dia menciptakan diri sendiri atau yang lainnya. maka keberadaan Zat Allah adalah menunjukkan atas keharusan beriman. Oleh karena itu Allah menanyai mereka dengan pertanyaan “ bagaimana kamu kafir kepada Allah dan menutupi keberadaan Zat yang menciptakan kamu semua?”
Dan menciptakan itu adalah hak prerogratif Allah tidak seorang pun yang mampu mengakui bahwa dia menciptkan dirinya sendiri. Fakta Bahwa kamu  diciptakan mengharuskan kamu beriman kepada Allah yang membuat kamu ada. Sesungguhnya itu adalah dalil Allah. Ketika seorang melihat sekitarnya dan mendapati segala yang ada di alam semesta ini ditundukkan padanya maka dia menduga dengan beriringnya dan berlalunya waktu, bahwa dia memiliki kekuasaan atas alam semesta ini. Oleh sebab itu dia hidup dan didalam fikirannya ada kekuatan sebab-sebab. Mengambil sebab-sebab dialah pelaku sebab-sebab,maka dia mendapatinya sebagai yang memberikan baginya. Kemudian dia tidak menoleh kepada yang menciptakan sebab akibat itu yang telah membuat aturan-aturan nya. Alah menunjukkan maksud ini didalam firmannya:
{كَلاَّ إِنَّ الإنسان ليطغى أَن رَّآهُ استغنى} [العلق: 6 - 7]
Artinya:sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas
Demikian itu karena manusia membajak tanah sehingga mendapatkan hasilnya. Kemudian dia berkeyakinan bahwa dialah yang telah menundukkan bumi itu dan membuat aturan-aturan sehingga bumi itu bisa memberinya apa yang dia kehendaki. Ia menekan tombol listrik kemudian tempat itu menjadi terang kemudian dia berkeyakinan bahwa dialah yang menciptakan listrik itu. Ia menaiki pesawat dan terbang melintasi awan kemudian dia berkeyakinan bahwa dialah yang membuat pesawat tersebut terbang. Dia melupakan karakteristik udara yang ditetapkan oleh Allah sehingga dia mampu menerbangkan pesawat itu. Dia menyalakan televisi dan dia melihat berita seluruh dunia dan dia berkayakinan bahwa hal itu terjadi karena kemampuannya. Dia lupa bahwa Allah-lah yang menetapkan aturan aturan khusus di angkasa (udara) sehingga dia itu bisa menteransper suara dan gambar dari ujung-ke ujung dunia lainnya. Inilah contoh-contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa manusia menganggap bahwa dirinya-lah yang menundukkan semuanya. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menundukkan semuanya, Allah-lah yang mnciptakan dan menetapkan aturan-aturan nya,  saya berkata jika kamu paham ma’na segala esensi segala sesuatu maka hal itu tidak akan terjadi padamu. Suatu yang esensial adalah sesuatu yang tidak pernah berubah selamanya. Suatu yang bukan esensi tersebut bisa berubah.
Jika kamu melihat pada esensi dirimu yang menipu dan menyesatkan kamu akan paham bahwa kata esensi itu artinya engkau tidak butuh pada selainmu. Bahkan segala sesuatu adalah darimu sedangkan kamu di seluruh hidupmu tidak memiliki esensi seperti itu karena segala sesuatu di sekitarmu berubah tanfa kehendakmu. Kamu adalah anak kecil yang membutuhkan ayahmu saat kamu kecil. Ketika kamu beranjak dewasa dan menjadi kuat kamu tidak bias menjadikan masa mudamu itu kekal karena waktulah yang memiliki, sedangkan masa-masa kamu terbatas. Maka ketika engkau mencapai usia senja maka engkau akan membutuhkan orang yang memagang tanganmu, minimal untuk memenuhi kebutuhan makan dan minummu.    
            Engkau bermula dengan masa kecil membutuhkan orang lain dan berakhir dengan masa tua juga membutuhkan orang lain. Ketika kamu ada di masa muda terkadang sakit yang bisa membuatmu tertunduk dan sulit (begerak) menimpa kamu. Apabila kamu punya ‘zat hakiki’ maka tolaklah penyakit itu dan katakan aku tidak akan sakit. Sungguh kamu tidak akan sakit. Allah SWT. Mewujudkan hal-hal yang bisa berubah ini sampai manusia bisa tiba dengan sendirinya dalam’ gurur’. Dan dia sadar bahwa dia punya kekuatan dan kemampuan karena sistem alam yang Allah tundukkan untuknya. Agar kita tahu bahwa kita semua membutuhkan zat yang maha kuasa yang adalah Allah. Dan adalah Allah dengan zatnya tidak membutuhkan seluruh makhluknya. Allah bisa merubah namun tidak berubah. Allah bisa membuat mati sesuatu namun wujudnya abadi. Allah bisa menciptakan kelemahan setelah kekuatan namun kekuatan-Nya abadi.  Apa yang dimiliki oleh manusia bisa rusak namun yang dimilki Allah tidak seperti itu. Dialah Allah yang ada di langit dan di bumi.
            Jadi, kamu tidak punya ‘Zatiyah’ yang membuat kamu berkata saya yang menumbuhkan alam semesta dengan alam kekuatanmu.karena sebenarnya kamu tidak punya kekuatan selalu ada dalam situasi tertentu dan membuatnya tidak berganti dan tidak berubah. Kalau begitu bagaimana bisa kalian kufur kepada Allah lalu menutupi keberadaanya. Semua yang ada di semesta dan tubuhmu adalah bukti dan atau tanda keberadaan Allah yang hak.  Menurut hemat saya golongan kafir terbagi menjadi dua:
Pertama, golongan yang kufur kepada Allah namun ketika datang petunjuk kepadanya akalnya membimbingnya untuk menyadari kebenaran dan kemudian mengimaninya.
Kedua, yang bersesuaian dengan definisi kuffar ia tetap kufur walaupun sudah datang padanya iman serta bukti-buktinya. Dia malah menentang dan mengkufurinya karena ia ingin mempertahankan kekuasaan duniawinya dan otoritasnya sebagai orang yang zalim dan sewenang-wenang. Ia tidak mau dilepaskan dari kedunya walaupun oleh kebenaran. Golongan inilah yang disebut Allah dalam ayat
{إِنَّ الذين كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ}
            Artinya: sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja atas mereka , engkau (Muhammada) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tiak akan berimana.
Mereka belum kafir karena penyampaian dari Allah belum menyentuh mereka, mereka juga belum dikatakan kafir karena mereka masih butuh ditunjukkan oleh Rasulullah pada jalan Allah. Mereka-lah yang menjadikan kufur sebagai prinsip hidup dan mereka-lah yang mengambil keuntungan dari kekufuran itu karean kekufuranlah yang membuat mereka jadi pemimpin dan mereka berbeda dengan yang lain karena kebatilan dan karena sifat mereka yang jika didatangi oleh keimanan yang mempersamakan manusia dan memangkas kezaliman mereka akan menjadi orang kebanyakan tidak berbeda satu hal pun dari yang lain.
            Inilah sosok kafir yang menjadikan kufur sebagai cara mendapatkan kekuasaan dunia serta pernak perniknya. Mereka akan tetap tidak akan beriman entah engkau ingatkan atau tidak. Ia menginginkan dunia dimana ia hidup didalamnya. Bahkan mereka-lah yang menentang agama dan memerangi semua kaum beriman karena mereka tahu bahwa iman melepaskan banyak keutungan darinya, oleh karena itu ketiadaan iman mereka bukan karena jalan iman belum disampaikan kepada mereka atau karena tidak ada seorang pun yang menunjukknya ayat-ayat Allah di bumi. Ketiadaan itu  lebih karena hidup mereka berprinsipkan kekufuran.

HERMENEUTIK QUR’AN DAN TASAWUF SYAYKH ABD ALQADIR AL-JILANI




 HERMENEUTIK QURAN DAN TASAWUF  SYAYKH ABD ALQADIR AL-JILANI

Irwan Masduqi
Pesantren Assalafiyah Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta irwan.msq@gmail.com

Abstrak
Syaykh Abdul Qadir al-Jilani adalah pendiri Tariqah Qadiriyyah. ajarannya sangat dihormati oleh para pemimpin dari berbagai pesantren tradisional Islam di Indonesia. Mereka telah menerima ajaran-ajarannya dari karya-karyanya yang berjudul Futμh al-Gayb, al-Fath  al-Rabban, al-Gunya li  Talibi Tariq al-Haqq, dan Kitab Sirr al-Asrar wa Mazhar al-Anwar. Kemudian, pada tahun 2009, ada penemuan Tafsir Al-Qur’an milik Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani yang judulnya adalah berjudul al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah. Sebagai salah satu guru pesantren tradisional, saya tertarik untuk meneliti keaslian al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah. Penelitian ini juga membahas penafsiran Al-Qur'an dalam pandangan Syekh Abd al-Qadir al-Jilani dan metode penafsirannya.

Kata kunci: karya tidak asli, tariqat sufi, pendekatan tasawuf, teori pengetahuan, dan keaslian penemuan kerja al-Jilani

A.    pendahuluan

Warisan dari tafsir Quran, akhir-akhir ini, diperkaya dengan terbitnya tafsir Abd al-Qadir al-Jilani (Jilani, Jaylani, Gilani, Gaylani) pada awal 2009. Pusat Studi al-Jilani (Markaz al-Buhuts al-li Jilani) di Istanbul, Turki, mengklaim bahwa publikasi ini adalah publikasi yang pertama sepanjang sejarah. naskah yang yang terdiri dari enam jilid, dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk setiap jilid, ditemukan oleh Muhammad Fadhil di Italia, Perpustakaan Qadiriyyah di Baghdad, dan India. Editor komentar al-Jilani adalah Dr. Jilani Mohammed Fadhil al-Hasani al-Jamazraqi al-Taylani dari Jimzaraq, bagian Timur Turki yang menganalisis buku al-Jilani lebih dari dua puluh tahun yang lalu dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. (Al-Jamazraqi, 2009: 23-24).

B.     Keaslian Tafsir Milik al-Jilani

             komentar al-Jilani dipertanyakan dan mengarah ke argumen polemik di kalangan sarjana muslim. Al-Jilani berkomentar, yang memberikan hak al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah adalah masih diperdebatkan oleh penulis biografi al-Jilani. Dr Joseph Zaidan, seorang ahli di bidang tasawuf naskah dari Alexandria, mencatat bahwa perpustakaan Rashid di Tripoli dan India telah mengumpulkan kitab tafsir Qur’an dan mengklaim karya, seperti karya syeikh al-Jilani. Berdasarkan pendapatnya, pekerjaan ini, bagaimanapun,


adalah "pseudo" (Al-manhul) untuk penulis al-Jilani Manaqib (bighrafi kitab al-Jilani ) tidak pernah mengisyaratkan bahwa al-Jilani memiliki pekerjaan di lapangan untuk menafsirkan Qur’an. Joseph Zaidan, menyatakan bahwa al-Jilani sendiri, dalam beberapa karyanya, tidak pernah menyatakan sebuah karya di bidang tafsir Al-Quran. (Zaidan, 1999: 103).

            Kesimpulan Joseph Zaidan ini diklarifikasi oleh Khairuddin alZirkili, di al-Takmilah dengan menyatakan secara tegas bahwa al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah adalah sebuah karya Ni'matullah bin Mahmud al-Nakhjuwani dari Nakhichevan (bahasa Azeri: Naxçıvan Muxtar) (d 920 AH.), Azerbaijan. (Al-Zirkili, 38). pendapat Al-Zirkili ini be
rgabung dengan katalog Biblioteca Alexandrina yang menunjukkan komentar al-Jilani yang ditulis oleh al-Nakhjuwani. Katalog Biblioteca Alexandrina menjelaskan bahwa komentar al-Jilani tidak pernah dicetak, 1907/1325 AH di Istanbul, Turki, yang berisi II jilid, dan tidak pula VI jilid seperti yang dicatat oleh Pusat Studi al-Jilani, Turki.

            Demikian juga, program digital dari Maktabah Syamilah termasuk komentar ini ditulis oleh al-Nakhjuwani sebagai penulis dan telah dicetak dan diterbitkan oleh Dar Rikabi, Kairo, Mesir, pada tahun 1999 di mana teks versi Dar al-Rikabi ini adalah versi penuh sampai surah al -Nas. Asumsinya bahwa komentar ini adalah karya al-Nakhjuwani tidak hanya dikonfirmasi oleh situs Syiah atau situs resmi Tariqah Dasukiyyah Syaziliyyah,  tetapi, juga oleh sumber asli yaitu
Mu’jam Matbu’ah, Mu’jam Mua;;ifin, Kasyf al-Dunun, dll Seperti kata mereka, al-Fawatih al-ilahiyyah ditulis oleh al-Nakhjuwani, 902 AH. (Haji Khalifah, II jilid 1292; Al-Babani,  II jilid, 206; Sarkis, II jilid, 1849; Kahalah, III jiid, 111).

            Hal ini jelas, bahwa pendapat yang pertama menyimpulkan bahwa komentar al-Jilani adalah karya al-Nakhjuwani sedangkan pendapat kedua, yang diwakili oleh Dr. Abd al-Razaq al-Kaylani, menyatakan bahwa karya al-Jilani berada di bawah judul al-Misk al-Khitam dan komentarnya tersedia di Perpustakaan Tripoli dan India (naskah 622 AH). (Al-Kaylani, 1994: 320). Sebaliknya, versi ketiga, pendapat dari Pusat Studi al-Jilani di Istanbul, Turki di mana Muhammad Fadhil adalah peneliti, mengungkapkan bahwa komentar al-Jilani adalah karya otentik Abd al-Qadir al-Jilani. pendapatnya berdasarkan penelitian yang dilakukan selama kunjungannya ke 50 perpustakaan, termasuk Vatikan, di mana ia menemukan tiga manuskrip yang diidentifikasi informasi spesifik di pojok bawah; "Komentar ini telah selesai dari I sampai jilid yang III oleh Abd al-Qadir al-Jilani".

            Editor meragukan keaslian komentar ini, karena naskah komentar al-Jilani telah ditulis oleh orang lain dan bukan dari al-Jilani sendiri. keraguan, bagaimanapun, telah diabaikan berdasarkan informasi dari Sayid Abd al-Muttalib al-Kaylani dari Nuri al-Haj (manajer Qadiriyah perpustakaan di Baghdad), dan keluarga Abd al-Qadir al-Jilani di Watkiyya Sekolah dan Syaykh Islam Umar Rifa'i dari Sayyid Yusuf (pemilik Mustafa al-Halbi perpustakaan di Baghdad). Sumber-sumber ini menegaskan bahwa ada sebuah buku tafsir Qur’an yang ditulis oleh Abd al-Qadir al-Jilani "dikumpulkan dalam Qadiriyah Perpustakaan, Baghdad. Sayangnya, komentar itu hilang sampai naskah itu ditemukan lagi di Syam kemudian hilang pada kedua kalinya. Sayid Nuri menganjurkan keaslian komentar al-Jilani melalui pernyataannya, "Salah satu karya Abd al-Qadir al-Jilani, ditulis dengan tangan, adalah. al-Fawatih al-ilahiyyah dengan


demikian, Editor mengatakan, "informasi ini memperkuat upaya kami untuk mempublikasikan komentar ini atas nama Syaykh Abd al-Qadir al-Jilani" (Al-Jilani, 2009: 1-21)..

            Meskipun mayoritas ulama mengatakan bahwa al-Fawatih adalah karya al-Nakhjuwani, tetapi pernyataan ini tidak menutup kemungkinan munculnya asumsi bahwa komentar al-Jilani ditulis oleh al-Jilani sekitar tahun 521 sampai 561 AH di Baghdad, kemudian disalin dan digandakan oleh beberapa penulis, termasuk al Nakhjuwani yang meninggal pada 920 AH. naskah asli, lebih jauh lagi, hilang di Baghdad, informasi yang diberikan oleh Perpustakaan Baghdad. Asumsi bahwa al-Nakhjuwani hanya penyalin dapat didasarkan pada penemuan naskah India yang ditulis dalam 622 AH atas nama Abd al-Qadir alJilani. Asumsi ini muncul dalam al-Nakhjuwani pada akhir dari setiap bagian kata, "kommentar dari tuanku, Syaikh Abd al-Qadir alJilani, telah selesai".

            Selain itu, al-Nakhjuwani adalah sarjana mistik dari Nakhichevan, Azerbaijan (perbatasan Turki, Armenia dan Iran). oleh karena itu, komentar ini telah sangat populer di kalangan pengikut Syiah sekte di Iran dan Turki dan dapat diklaim sebagai karya al-Nakhjuwani oleh penerbit pertama di Istanbul, Turki, pada tahun 1999. Asumsi ini bernilai pertimbangan dan penyelidikan lebih lanjut karena Tabaqat ini al-Adnarawi memberi informasi bahwa judul buku al-Nakhjuwani adalah Fawatih al-Maqisat, tidak Fawatih   al-ilahiyyah. (Al-Adnarawi, number473, 117).

C. Biografi Syeikh Abd Al-Qadir Jilani

            Ortodoks Islam atau sarjana islam selama periode skolastik meninggalkan beberapa warisan gberharga dari karya intelektual, misalnya menjelaskan biografi Abd al-Qadir al-Jilani, Buhjah al-Ashar Qalaid al-Jawahir fi Manaqib al-Syaykh A’bd al-Qadir oleh al-Tadifi, Syamsy al-Mafakhir oleh Muhammad al-Bahsyi al-Halbi, dan khulasah al-Mafakhir fi Ikhtisar Manaqib al-Syaykh ‘Abd al-Qadir oleh Abu as’ad al-Yafi’i. Namun, sayangnya, secara umum, karya-karya ini ditulis atas dasar mitos di kalangan sufi, seperti mitos bahwa al-Jilani dapat menghidupkan kembali ayam mati. Menurut pendapat saya, sebuah mitos yang tidak rasional seperti ini harus dihindari.

            Dalam perspektif antropologi aplikatif, bagaimanapun, mitos tidak selalu negatif. Mitos kadang-kadang memiliki fungsi positif untuk mengubah masyarakat menuju sesuatu yang lebih baik. Salah satu contoh dalam kaitannya dengan mitos-mitos al-Jilani adalah cerita bahwa dia memiliki kekuatan untuk memeras dirham atau uang emas (hadiah dari pemerintah yang korup) sampai hancur. Namun, dari perspektif antropologi aplikatif, narasi mitis tidak bisa diterima begitu saja. Antropologi tidak berlaku untuk menyelidiki apakah mitos itu benar atau salah. Antropologi aplikatif menekankan bahwa mitos ini memiliki fungsi positif untuk membentuk masyarakat yang anti-korupsi.

            Mari kita mengabaikan mitos negatif dan kemudian merujuk pada data empiris dalam tinjauan dari biografi. Abd al-Qadir al-Jilani lahir pada tahun 470 H / 1077 M di Jilan, Iran, dan meninggal di 561 AH di Bab al-Azaj, Baghdad. Periode kehidupan al-Jilani dapat dibagi menjadi tiga periode: yang pertama adalah masa al-Jilani di Kaylan, daerah yang penduduknya setia


mengikuti sekolah Syafi'i dan pemikiran Hanbali. Periode ini dihitung dari 470 AH ekspedisi intelektual ke Baghdad di 488 AH.

            Periode kedua dimulai dari 488 AH sampai 521 AH ketika al-Jilani mempelajari hadits dari Abu Ghalib Muhammad bin Hasan alBaqilani, Abu Bakar Ahmad bin Mazhar, Qasim Ali bin Abu Bayan al-Razi, Abu Thalib bin Yusuf, dan lain-lain. Al-Jilani juga seorang mahasiswa Abu al-Wafa Ali Ibn Aqil al-Hanbali dan Abu al-Khi¯ab Mahfu «bin Ahmad al-Kalwazani al-Hanbali dalam bidang fiqh. Dalam disiplin sastra, ia belajar dari Abu Zakariya Yahya al-Tibrizi. guru spiritual nya termasuk Abu Ja'far Muhammad bin Ahmad Siraj dan Syaykh Hamad bin Muslim al-Dibas, serta Qadhi Abi Said al-Mubarak bin Ali al-Mukharrami. Sementara itu, mereka yang mengajarkan al-Jilani dalam disiplin tafsir Alquran yang Wafa Ali bin Abi Aqil, Abu al-alKalwadzani Khithab Mahfudh, Abu al-Ghanaim, Abd al-Rahman bin Ahmad bin Yusuf Abu al-Barakat al-Mubarak Hibatullah, dan lain-lain; semuanya mungkin telah mempengaruhi penafsiran nya. Menurut beberapa penulis biografi, ilmu-ilmu yang tertarik al-Jilani sangat besar yang hukum Islam Syafi'i dan Hanbali sekolah pemikiran. Setelah menguasai fiqh, al-Jilani kemudian diselesaikan dengan mistisisme.


C.     Epistemologi Commentary al-Jilani

            komentar al-Jilani berlaku pendekatan esoteris menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang menggabungkan perasaan batin (zauq) dan intuisi (Kasyf). Al-Jilani mengatakan, "Mari kita memahami al-Qur'an dengan hati kita, kontemplasi, dan pengetahuan dari Allah (mukasyafah) daripada hanya menggunakan pandangan rasional dan estimasi". Berdasarkan pendekatan sufi, komentar al-Jilani bernama al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah (Kunci Ilahi dan Kunci Gaib menjelaskan Ayat-ayat Quran dan Perbedaan antara Benar dan salah), dan dikenal sebagai buku yang menggambarkan dimensi spiritualitas esoterically (ba¯³n). Dimensi ini kemudian diintegrasikan dengan dimensi eksoteris (zahir) yang tercermin oleh pernyataan penafsiran dari surah al-Fatihah,
            "Wahai pengikut agama Muhammad,  seharusnya Anda merenungkan tujuh laut termasuk dalam al-Sab’ al-masani . Kontemplasi ini tidak mudah kecuali tubuh Anda telah dibersihkan dengan syariat yang dipahami dari ayat-ayat Alquran, serta jiwa Anda telah dibersihkan dengan etika ".

            Sejalan dengan al-Jilani, tubuh dan jiwa harus bersih sama. Tampaknya bahwa kombinasi harmonis antara dimensi
batin dan dzahir disejajarkan dengan kombinasi syariat dan haqiqiat. Kombinasi ini menekankan bahwa para ulama sufi harus tetap berpegang teguh pada aturan hukum Islam. Ini adalah kritik konstruktif ditujukan kepada sufi yang sering sewenang-wenang memberhentikan hukum Islam dan membenarkan segala sesuatu di bawah kedok tasawuf. kritik al-Jilani adalah relevan untuk mengatasi fenomena munculnya sekte baru, marak terjadi di Indonesia juga, di mana para pendiri mengaku mendapatkan inspirasi mistis dari Allah, tetapi ironisnya, mereka terus melanggar prinsip-prinsip dasar dari hukum Islam. Sebaliknya, kombinasi antara dimensi esoteris dan eksoteris juga kritik untuk skripturalis dan fundamentalis yang mengaku memahami perspektif kaku syariat dan belum terjebak pada kulit syariat tanpa menyelam ke dalam inti dari syariah.

            Kombinasi antara dimensi esoteris dan eksoteris merupakan suatu keharusan karena al-Qur'an, menurut al-Jilani, memiliki berbagai kemungkinan makna. Al-Qur'an, menurut dia, adalah seperti laut di mana ada berbagai perhiasan berlian; ekspresi metafora yang menunjukkan bahwa al-Qur'an, sebagai teks, dapat memiliki berbagai penafsiran (multi-interpretatif). Ada komentator yang hanya memahami makna literal dari ayat-ayat, seperti ahli hukum, serta
komentator yang menyelam ke lapisan dalam arti substansial, seperti
penafsiran sufi.

            Meskipun demikian, juru Sufi mengungkapkan interpretasi yang berbeda, karena ada variasi dalam tingkat yang diperoleh, berdasarkan intuisi dari Allah. Ini mengungkapkan relativisme yang tidak dapat ditolak dan, karena itu, Allah berfirman, "\wallazina jahadu lanahdiyannahum subulana" (Dan orang-orang yang serius tentang mengambil jalan saya, maka saya akan menunjukkan berbagai cara untuk mereka). Kata "subul" adalah bentuk jamak dari "subul". Ini mengekspos "jalan keragaman" (subul) terhadap Allah; Allah membimbing melalui interpretasi eksoteris Syariah, serta melalui interpretasi esoteris tasawuf. Melihat keragaman ini, komentar al-Jilani menggabungkan baik dalam rangka menciptakan keseimbangan antara aspek kulit dan inti syariat. (Al-Jilani, 2009: 29-33, 472).

            Semangat relativisme dalam komentarnya al-Jilani adalah nilai positif yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan toleransi dan harmoni di dunia. Menurut al-Jilani, memahami keragaman adalah diperlukan. Meskipun Islam adalah salah satu, pemahaman tentang Islam sangat beragam. Akibatnya, akan lebih baik jika keanekaragaman dapat dihormati dan dikombinasikan, seperti kombinasi antara dimensi esoteris dan eksoteris. Teks al-Qur'an memiliki multi interpretasi; Oleh karena itu, umat Islam harus saling menghormati satu sama lain dan menghindari kekerasan. Sikap spiritual ini menunjukkan bahwa itu tidak adil bagi beberapa kalangan untuk mengklaim bahwa mereka memiliki satu-satunya kebenaran dan bahwa pendapat lainnya adalah palsu, karena "keragaman penafsiran adalah jalan (subul) kepada Allah", kata al-Jilani.

            Sayangnya, masih ada paradoks dalam kerangka konseptual sufisme al-Jilani di mana ia terjebak dalam eksklusivisme. eksklusivisme yang tercermin oleh sikapnya yang antipati terhadap filsafat rasional dan teologi. Pada awalnya al-Jilani muncul sebagai seorang sarjana yang sangat pluralistik dengan ide-ide multi-interpretatif, maka di titik lain, ia mengklaim bahwa sufi adalah pemilik otoritas kebenaran. Menurut dia, mutasya
bihat hanya dapat dipahami oleh para Sufi, bukan oleh filsuf dan teolog. Para sufi adalah al-Rasikhμn, pemilik ilmu laduni, yang telah didukung oleh intuisi Allah. Ini adalah sisi subjektivitas al-Jilani yang harus dihindari.

            Sekarang kita sampai pada diskusi tentang definisi Quran. Menurut al-Jilani, al-Qur'an adalah "moralitas Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya". Definisi ini dibangun oleh hadits "Takhallaqu akhlaqillahi" (mari kita untuk meniru moralitas Allah). Al-Jilani menyatakan, jika ada orang yang memiliki moralitas Allah, maka ia akan pergi ke sorga.2 Definisi ini diklarifikasi oleh "konsepsi teks" alJilani yang menggambarkan tren teologi Sunni. Ketika ditafsirkan "  zalika al-Kitabu la Rayba fihi", al-Jilani mengatakan, "Tidak ada keraguan tentang al-Qur'an yang diutus Allah, dalam teks atau makna. Dalam aspek teks, karena kesaktiannya, tidak dapat dibandingkan dengan puisi di bidang Balagah. Dalam aspek makna, karena informasinya, itu mencakup semua rahasia yang gaib yang tidak dapat dilihat kecuali oleh Nabi dan Sufi ". (Al-Jilani, 2009: 44-45).

            Al-Jilani sekte kecenderungan lebih dekat dengan ajaran Sunni, terutama dalam konsep bahwa Quran adalah teks dan maknanya. Namun demikian, pandangan teologis tentang Quran dibungkus oleh pandangan sufisme, sebagaimana tercermin dalam laporan al-Jilani di atas. Kecenderungan Sunni juga dapat ditelusuri dalam beberapa karyanya yang berisi kritik terhadap pengikut antropomorfisme (mujassimah) dan Mu'tazilah. (Al-Kaylani, 1994: 320). Kemudian, dalam versi membaca, al-Jilani sejalan dengan versi Hafs, sedangkan dalam hukum Islam al-Jilani menganut Hanbali dan Syafi'i dalam  pemikiran. Selain itu, Asbab  al-Nuzμl juga prihatin dengan al-Jilani. Sayangnya, perhatian al-Jilani terhadap Asbab al-Nuzμl, bagaimanapun, adalah sangat minim. (Al-Jilani, 2009: 289306).

 al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah Kesimpulan adalah buku yang diperdebatkan oleh para peneliti. Beberapa peneliti berpendapat bahwa buku ini adalah karya Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, sementara peneliti lain berpendapat bahwa buku ini adalah karya al-Syaikh Nakhjuwani dilakukan atas nama Abd al-Qadir al-Jilani. al-Fawatih al-ilahiyyah wa al-Mafatih al-Gaybiyyah al-Muwadihah li al-Kalim al-Qur’aniah wa al-Hikam al-Furqaniah adalah buku yang berisi interpretasi dari Al-Qur'an yang menggunakan pendekatan esoteris. Buku ini juga menggabungkan pendekatan esoteris dan eksoteris untuk menggambarkan aspek-aspek hukum Islam dan mistisisme.



catatan akhir

            1 http://www.s-alshirazi.com/library/books/ali-qoran2/masader.htm, http: // www. rayat-alizz.com/current/page3.htm (diakses pada tanggal 01 Mei 2010).
             2 Hadits ini diduga oleh para editor sebagai hadits palsu, karena, menurut Abu Nuaim, di Huliyah al-Awliya, hadits ini adalah pernyataan dari Dhu al-Nun alMishr. Namun, hadits ini di antara para sufi sudah diterima secara luas. Nah, jika hadits adalah pernyataan dari Dhu al-Nun al-Mishr, maka dapat diasumsikan bahwa al-Jilani
secara tidak langsung dipengaruhi oleh doktrin neo-Platonisme, karena Dhu Nun alMishr dikenal seorang sufi dari Mesir yang dipengaruhi oleh neo-Platonisme.

Referensi
Buku
Al-Adnarawi, Ahmad bin Muhammad, Thabaqat al-mufassirin, pdf. www.al-mostafa.com, nomor 474.
Al-Babani, Hidayah al-Arifin, Maktabah Syamilah, vol. II.

Al-Kaylani, 1994, Abd al-Raziq, al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani: al-Imam al-Zahid al-Qudwah, Damaskus: Dar al-Qalam.

Al-Jilani, Abd al-Qadir, 2009, Tafsir al-Jilani: Al-Fawatih al-Ilahiyyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim alQur'aniyyah wa al-Hikam al-Furqaniyyah, Markaz al Jilani li Al buhus al-'Ilmiyyah wa al-Tab'i wa al-Nasyr.

Al-Jamazraqi 2009, Muhammad Fadhil al-Jilani al-Hasani al-Taylani, Muqaddimah Tafsir al-Jilani, Markaz li Al buhus al-'Ilmiyyah wa al-Tab'i wa al-Nasyr.

 Al-Zirkili, al-A'lam, Maktabah Syamilah, vol. VIII.

Kahalah, Umar Ridha, Mu'jam Muallifin, Maktabah Syamilah,
jilid III.

Khalifah, Haji, Kasyf al-Dhunun, Maktabah Syamilah,
jilid. II, p. 1292.

Sarkis, Yusuf Alyan, Mu'jam Mathbu'ah, Maktabah Syamilah,
jilid. II.Zaidan, Yusuf Muhammad Thaha, 1999, Abd al-Qadir al-Jilani: Bazzullah al-Asyhab, Bairut: Dar al-Jayl.